Baru-baru ini, saya ada menerima satu email daripada seorang rakan. Bagi saya kandungan email ini baik dan boleh kita sama-sama fikirkan. Selain itu, isi kandungan email ini juga sedikit sebanyak mungkin boleh membantu mengatasi kekeliruan yang dihadapi oleh sebilangan kita mengenai ke mana faedah daripada simpanan di institusi kewangan tertentu boleh kita halakan.
Perlu saya jelaskan di sini, kandungan email yang bakal saya kongsikan ini bukanlah hukum, fatwa atau sebagainya. Ia sekadar saranan semata-mata. Bahkan menurut penghantar email ini, sekiranya ada pernyataan yang mengelirukan, silalah rujuk kepada sumber yang lebih sahih. Selamat membaca!
Artikel 1
Dr Yusuf al-Qardhawi mengulas persoalan berkaitan ke manakah wang yang di dapati dari sumber yang haram boleh dibelanjakan menyatakan;
dari segi logiknya, harta-harta yang haram ini hanya boleh dialirkan kepada empat jalan sahaja iaitu;
4. Mengambil harta itu untuk kegunaan sendiri dan ahli keluarga. Ini adalah tidak diharuskan oleh syarak
2. Meninggalkan sahaja kepada bank riba. Ini juga tidak harus kerana kebiasaannya bank-bank ini mendermakan harta tersebut kepada badan kebajikan yang kebanyakannya terdiri daripada persatuan2 gereja dan kristianisasi
3. Memusnahkannya. Pendapat ini telah ditolak oleh Imam al-Ghazali di mana beliau menyatakan; kita ditegah daripada memusnahkan harta kita.
4. Membelanjakan untuk tujuan kebajikan seperti kepada fakir miskin, partubuhan-pertubuhan kebajikan, dakwah dan kemasyarakatan Islam dan sebagainya. Inilah satu-satunya jalan yang dibenarkan.
Menurut al-Qardhawi lagi...
di sini saya ingin menjelaskan bahawa cara ini bukannya dinamakan sedeqah, kerana Allah itu baik dan dia hanya menerima yang baik sahaja (sebagaimana mafhum sebuah hadis Rasulallah SAW), sebaliknya ia termasuk dalam bab membelanjakan harta yang haram kepada satu-satunya jalan yang diharuskan. Pembelanja bukanlah pemberi sedeqah tetapi hanyalah sebagai orang tengah dalam menyampaikan harta itu ke jalan kebajikan.
Pandangan sebahagian besar ulama’, duit riba boleh digunakan untuk membuat prasarana yang berkepentingan umum. Sebagai contoh untuk membina jalanraya, tandas atau seumpamanya.
Artikel 2
Cara Halal Memanfaatkan Bunga Bank
February 29th, 2012
Pembahasan tentang hukum riba di bank tidak dijumpai dalam buku fikih klasik. Karena ketika buku itu ditulis, sejarah munculnya bank belum terbit. Untuk memahami berbagai masalah seputar bank, kita perlu merujuk kepada penjelasan ulama kontemporer, yang sempat menjumpai praktek perbankkan.
Pertama, Hukum mengambil bunga bank
Ulama sepakat bahwa bunga bank sejatinya adalah riba. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukum mengambil bunga tabungan di bank, untuk kemudian disalurkan ke berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pendapat pertama, bunga bank wajib ditinggal dan sama sekali tidak boleh diambil. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin. Sebagaimana keterangan beliau di banyak tempat risalah beliau.
Pendapat kedua, dibolehkan mengambil bunga bank, untuk disalurka ke kegiatan sosial kemasyarakatan. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Jibrin, ketika ditanya tentang hukum menyalurkan bunga bank untuk para mujahid. Setelah menjelaskan larang menabung di bank kecuali darurat, beliau menegaskan:
....dia boleh mengambil keuntungan yang diberikan oleh bank, semacam bunga, namun jangan dimasukkan dan disimpan sebagai hartanya. Akan tetapi dia salurkan untuk kegiatan sosial, seperti diberikan kepada fakir miskin, mujahid, atau semacamnya. Tindakan ini lebih baik dari pada meninggalkannya di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membangun gereja, menyokong misi kekafiran, dan menghalangi dakwah islam.. (Fatawa Islamiyah, 2/884)
Bahkan Syaikh Muhammad Ali Farkus dalam keterangannya menjelaskan: “Bunga yang diberikan bank, statusnya haram. Boleh disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin dengan niat sedekah atas nama orang yang didzalimi (baca: nasabah). Demikian juga boleh disalurkan untuk semua kegiatan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, termasuk diberikan kepada fakir miskin.
Karena semua harta haram, jika tidak diketahui siapa pemiliknya atau keluarga pemiliknya maka hukumnya, harta ini menjadi milik umum, dimana setiap orang berhak mendapatkannya, sehingga digunakan untuk kepentingan umum. Allahu a’lam.”
Kedua, menginfakkan bunga bank untuk masjid
Dengan mengambil pendapat ulama yang membolehkan mengambil riba di bank, pertanyaan selanjutnya, bolehkan menyalurkan riba tersebut untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, pesantren atau kegiatan dakwah lainnya?
Pendapat pertama, tidak boleh menggunakan uang riba untuk kegiatan keagamaan. Uang riba hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum atau diberikan kepada fakir miskin. Pedapat ini dipilih oleh Lajnah Daimah (Komite tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab Saudi. Sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 16576.
Pendapat ini juga difatwakan Penasehat Syariah Baitut Tamwil (Lembaga Keuangan) Kuwait. Dalam fatwanya no. 42. Mereka beralasan mendirikan masjid harus bersumber dari harta yang suci. Sementara harta riba statusnya haram.
Pendapat kedua, boleh menggunakan bunga bank untuk membangun masjid. Karena bunga bank bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Jika boleh digunakan untuk kepentingan umum, tentu saja untuk kepentingan keagamaan tidak jadi masalah. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah bin Jibrin. Sebagaimana dikuti dalam Fatawa Islamiyah, 2/885.
Ketiga, Menggunakan riba untuk membayar pajak
Setelah menjelaskan haramnya membungakan uang di bank, Syaikh Muhamad Ali Farkus menyatakan:
Jika uang yang disimpan menghasilkan tambahan bunga (riba) maka pemiliknya wajib bertaubat dari kedzalimannya, karena memakan uang orang lain dengan cara yang tidak benar. Bukti taubatnya adalah dengan membersihkan diri dari harta haram yang bukan miliknya dan tidak pula milik bank. Akan tetapi uang haram ini menjadi harta umum, yang harus dikembalikan untuk kepentingan umum kaum muslimin atau diberikan kepada fakir miskin. Mengingat ada halangan dalam hal ini, berupa tidak diketahuinya orang yang didzalimi dalam transaksi riba ini, karena hartanya diambil untuk bunga. Karena uang riba yang ditambahkan adalah uang umum yang dimiliki seluruh kaum muslimin. Sementara seseorang tidak boleh membayar pajak yang menjadi tanggungannya dengan harta milik orang lain tanpa minta izin....
Demikian pula yang difatwakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah di bawah bimbingan Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih. Dalam fatwanya no. 23036 dinyatakan:
Membayar pajak dengan bunga bank, hukumnya tidak boleh, karena pembayaran pajak akan memberikan perlindungan bagi harta pemiliknya, sehingga dia telah memanfaatkan riba yang haram ini.
Perhatian!
Bunga bank yang ada di rekening nasabah, sama sekali bukan hartanya. Karena itu, dia tidak boleh menggunakan uang tersebut, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, apapun bentuknya. Bahkan walaupun berupa pujian. Oleh sebab itu, ketika Anda hendak menyalurkan harta riba, pastikan bahwa Anda tidak akan mendapatkan pujian dari tindakan itu. Mungkin bisa Anda serahkan secara diam-diam, atau Anda jelaskan bahwa itu bukan uang Anda, atau itu uang riba, sehingga penerima yakin bahwa itu bukan amal baik Anda. (pengusahamuslim)
No comments:
Post a Comment